Menyelamatkan Naskah-Naskah Klasik Lombok, Upaya dan Tantangan

Oleh : Fathurrochman Karyadi, lulusan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan  anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa).  

REPUBLIKA.CO.ID, — Beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya saya mengunjungi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya hanyut melihat keindahan alamnya serta kerukunan masyarakatnya yang majemuk.

Apalagi setelah ada Sirkuit Mandalika, Pulau Seribu Masjid ini semakin dipuji banyak pelancong lokal dan internasional. Namun demikian, ada satu hal yang tidak banyak dibidik, yakni potensi manuskripnya yang ternyata amat luar biasa.

Manuskrip atau naskah kuno merupakan memori kolektif bangsa Indonesia. Kemendikbud telah menetapkan manuskrip sebagai cagar budaya dan salah satu objek pemajuan kebudayaan. 

Bahkan, Organisasi PBB untuk pendidikan, keilmuan dan kebudayaan (UNESCO) memberikan anugerah Memory of the World (MoW) kepada Indonesia atas empat manuskripnya yaitu La Galigo (abad ke-14), Babad Diponegoro (1831), Nāgarakrĕtāgama (1365), dan Naskah Panji (abad ke-13).

Penting untuk diketahui bahwa manuskrip Lombok memiliki karakteristik yang unik dan kekayaannya yang melimpah, baik dari segi bahasa, aksara, tema, maupun bahannya. Hal ini tak heran melihat beragam etnis ada di pulau dengan kota utama Mataram tersebut. 

AR Wallace (1986) dan Kendra Clegg (2008) mengatakan bahwa Sasak merupakan penduduk asli dan kelompok etnis mayoritas Lombok, sedangkan etnis pendatang di antaranya Bali, Sumbawa, Jawa, Arab, dan Cina.

Profesor Jamaluddin, guru besar sejarah dan peradaban Islam UIN Mataram menegaskan, Lombok juga diwarnai oleh beragam bahasa, kebudayaan, dan keagamaan. Meskipun etnis lain berdialog dengan bahasanya masing-masing, bisa dipastikan semua penduduk Lombok bisa berbahasa Sasak. 

Warga Muslim Lombok banyak dari etnis Sasak, Bugis, Jawa, dan Arab. Agama Hindu di Lombok banyak dianut oleh orang Bali. Kristen, Hindu dan Budha umumnya dari etnis Cina. Semua etnis hidup rukun berdampingan dengan sejuk dan damai.

Kekhawatiran bersama

Kami yang berada di Lombok merupakan tim yang bergabung dalam program Digital Repository on Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA). Di sana kami berinteraksi dengan pemilik dan pemerhati manuskrip, Gede Nursan dan Lalu Nafsiah. 

Gede menuturkan bahwa manuskrip Lombok perlu dirawat dan dilestarikan semaksimal mungkin mengingat gempa sering kali terjadi kapan saja.

“Pada 2018, rumah warga di sini hampir semuanya rata dengan tanah. Gempanya sangat dahsyat sampai ratusan kali. Tidak diketahui secara pasti berapa banyak jumlah nyawa yang hilang dan korban luka-luka,” kenangnya menyedihkan.  

Begitu pula halnya dengan nasib manuskrip-manuskrip Lombok ketika itu. Ada yang rusak, tertimbun, dan raib. Pun tidak ada data, siapa dan di mana saja yang menyimpan koleksi cagar budaya tersebut. Belum lagi fisik manuskrip yang rapuh, jangankan untuk dibuka-buka, terkena angin atau diserang serangga saja ia bisa hancur.

Oleh karena itu, di dunia modern dan teknologi seperti saat ini, digitalisasi manuskrip sangat penting. Profesor Oman Fathurahman, guru besar filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan bahwa ada dua cara menyelamatkan manuskrip yakni fisiknya dengan cara melakukan digitalisasi dan isinya dengan cara mengkajinya. Sebelum terkena musibah atau hal lain yang tidak diinginkan, penyelamatan manuskrip perlu segera dilakukan.

Dalam sebuah obrolan, Muhammad Nida’ Fadlan, peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pernah mengatakan kepada saya bahwa hasil digitalisasi di samping bisa diakses secara online oleh siapa saja, file manuskrip juga bisa dicetak ulang. 

Hal ini penting bagi pemilik naskah maupun pengelola museum misalnya, agar yang ditampilkan atau dipamerkan ke khalayak umum adalah hasil cetakannya, sedangkan naskah aslinya disimpan secara khusus.

Destinasi baru Lombok

Selama dua pekan, tim DREAMSEA berhasil melakukan digitalisasi sebanyak 31 manuskrip atau 3.683 lembar gambar digital. Jika diperhatikan, ada tiga bahan manuskrip yang banyak digunakan yakni lontar, kertas Eropa, dan kertas daluang. Ditemukan teks-teks berbahasa Sasak, Sansekerta, Melayu, Jawa Kuno, Jawa Madya, dan Arab.

Di luar itu, masih banyak manuskrip yang belum tersentuh, apalagi masyarakat Sasak memiliki tradisi Pepaosan yaitu membaca manuskrip saat upacara adat atau ritual keagamaan seperti khitan, perkawinan, kematian, dan sebagainya. 

Naskah yang dibaca juga beragam, di antaranya Rengganis, Jatiswara, dan Monyeh, yang isi ceritanya religi dan kisah rakyat.

Tidak bisa dilupakan pula peran vital para tuan guru di Pulau Lombok. Sejak generasi awal pada abad ke-18, seperti TGH. Umar Buntimbe, TGH Mustafa Sekarbela, TGH Amin Sesela, sampai kepada TGH Abdul Ghafur dan TGH M Zainuddin Abdul Majid masyarakat Muslim Sasak akrab dengan dunia literasi.

Para tuan guru itu berjejaring dengan intelektual Timur Tengah sehingga produktif menghasilkan karya tulis keislaman yang tidak sedikit jumlahnya.

Dengan misi digitalisasi manuskrip ini, setidaknya menambah destinasi baru dan pengetahuan bagi pelancong bahwa Lombok bukan hanya indah pantai dan gunungnya, melainkankekayaan manuskripnya menunjukkan peradaban masyarakatnya yang telah mapan sejak dahulu kala.  

Source: https://www.republika.co.id/berita/rb121s320/menyelamatkan-naskahnaskah-klasik-lombok-upaya-dan-tantangan

Translate »