Buku Fungsi, Jejaring, & Budaya Naskah Nusantara: Merawat Tradisi Nusantara Melalui Manuskrip Digital adalah sekumpulan artikel yang ditulis oleh para mahasiswa pascasarjana dari berbagai kampus di Indonesia yang memiliki ketertarikan terhadap kajian manuskrip di Indonesia. Para peneliti muda ini secara khusus direkrut dalam sebuah program bernama “Dreamsea Student Research” yang dilaksanakan sejak Agustus hingga Desember 2022. Kelahiran buku ini menjadi tren baru yang dirintis oleh Dremasea bahwa proyek digitalisasi manuskrip juga harus sejalan dengan upaya pemanfaatan manuskrip digitalnya.
Buku yang diterbitkan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) bekerjasama dengan Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA), pada Agustus 2023 ini berisi 354 halaman dengan jenis kertas bookpaper dan sampul softcover, ISBN 978-602-60182-6-7. Disunting oleh Muhammad Nida’ Fadlan dkk. Serta diberikan pengantar oleh Prof. Oman Fathurahman, Principal Investigator program DREAMSEA.
Buku ini terdiri atas 9 tulisan yang dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian Pertama berjudul “Fungsi Manuskrip dalam Tradisi Masyarakat Nusantara” dan mencakup kontribusi dari empat penulis dengan berbagai topik menarik.
Jergian Jodi, sebagai penulis pertama, membahas “Fungsi Kitab Mi’raj dalam Peringatan Malam Isra’ Mi’raj di Songgon, Banyuwangi” (DS 0037 00002). Ia menjelaskan bahwa Kitab Mi’raj, sebagai bagian dari budaya material, memiliki fungsi sakral dengan dampak positif. Tradisi mamaca, atau pembacaan manuskrip, berperan dalam memperkuat nilai gotong royong melalui fungsi manifes ritual yang muncul dalam masyarakat.
Penulis kedua, Agus Iswanto, membahas topik “Manuskrip-Manuskrip Koleksi Pelaku Tradisi Mamaca di Banyuwangi: Meninjau Kembali Tradisi Sintesis Mistik.” (DS 0037 00001, DS 0037 00002, DS 0037 00004, ) Dalam penjelasannya, ia mengungkap bahwa para pelaku tradisi mamaca di Kecamatan Songgon, Banyuwangi, yang beragama Islam, menyebarkan ajaran Islam dan tasawuf melalui ritual pembacaan manuskrip.
Pembahasan ketiga dari Wirdatun Nafi’ah, yaitu “Membaca Lokalitas Lontar Juwarsah Banyuwangi” (DS 0039 00001) menilik perihal proses kreatif dan adaptif masyarakat Nusantara dalam penyalinan teks. Di dalamnya terdapat intertekstualitas berupa adaptasi penokohan, alur cerita, dan pesan yang sejalan dengan unsur-unsur lokalitas masyarakat Banyuwangi.
Sebagai artikel penutup pada bagian ini, “Fungsi Pedagogis Al-Qur’an: Kajian Antarbaris dan Parateks dalam Naskah Al-Qur’an Koleksi La Ode Zaenu” (DS 0010 00031, DS 0010 00057, DS 0010 00079) yang ditulis oleh Zainal Abidin dibahas interaksi pedagogis yang dapat terbaca dari aktivitas penyalinan manuskrip. Misalnya saja, alih-alih memperindah Al-Qur’an dengan iluminasi yang khas seperti yang dilakukan oleh para penyalin istana, penyalin tampak melakukan penyederhanaan dan hanya memfokuskan teks berdasarkan tingkat kemampuan pembacanya.
Bagian Kedua bertajuk “Manuskrip dan Jejaring Sosial-Intelektual” yang berisi empat topik. Topik pertama ditulis oleh Frenky Mubarok dengan judul “Manuskrip Wahdat al-Wujud fi Bayan al-Ma’rifah min Kull Bayan al-Muhaqqiqin sebagai Penghubung Jaringan Ulama Buton, Timur Tengah dan Nusantara.” (DS 0010 00100). Dalam tulisannya, ia meyimpulkan bahwa jaringan Islam Timur Tengah berpengaruh besar pada perkembangan tasawuf di Buton. Hal ini didasarkan pada banyaknya teks-teks yang dikarang oleh para ulama Timur Tengah seperti Muhammad Makki disalin ulang oleh para ulama dan imam istana dan didukung penuh oleh sultan.
Kedua, yaitu tulisan dari Moch. Sholeh Pratama berjudul “Risalah Syaikh Asnawi Kudus Al-Jawi: Pandangan K.H. Asnawi Kudus atas Sejumlah Adagium dalam Manakib Syaikh Abdul Qadir Jailani.” (DS 0042 00001). Ia mengungkap bahwa terdapat diskusi yang hangat terkait dengan hukum pembacaan manakib Syaikh Abdul Qadir Jailani. Manuskrip karya K.H. Asnawi Kudus (1861) ditulis dalam rangka bantahan fatwa haram terhadap pembacaan manakib yang dikeluarkan oleh salah seorang mufti Mekkah bernama Sayid Abdullah bin Sayid Shalil Zawawi Al-Makki. Menurut K.H. Asnawi, mufti Mekkah itu hanya fokus pada aspek tekstual manaikb semata, tanpa mengindahkan substansi makna teks.
Berikutnya, Diah Ayu Agustina membahas “Relasi Ekonomi dan Agama Masyarakat Palembang Abad ke-19 dalam Naskah Safinat Al-Ghulam” (DS 0005 00023) karya Muhammad Azhari bin Makruf al-Falimbani (1860-1937). Dalam penjelannya, aktivitas perekonomian masyarakat Palembang pada abad ke-19 yang tumbuh pesar di bidang pertanian, niaga, dan industri mendorong ulama seperti Muhammad Azhari berperan penting dalam landasan teologis-ekonomi masyarakat di kawasan itu.
Topik keempat dibahas oleh Rozi Ahdar yaitu “Nilai-nilai Eko-Teologi dalam Lontar Tatwa Aji Janantaka” (DS 0030 00011) koleksi I Made Kajeng Waras Himawan Suwida. Ia memfokuskan pada narasi yang terjadi dalam teks dengan realita yang terjadi belakangan ini. Bencana ekologi yang terjadi di Nusantara pada dasarnya bisa dicegah dan ditanggulangi dengan cara memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya tanpa melakukan eksploitasi yang berlebihan.
Bagian ketiga mengusung topik “Budaya dan Perempuan dalam Manuskrip Nusantara” yang berisi tulisan dari Pradibyo H. dengan mengusung topik “Naskah Isra’ Mikraj dalam Perspektif Sastra Klasik” (DS 0014 00001). Melalui kajian tekstualnya, ia mengungkapkan bahwa terdapat perluasan cerita kisah perjalanan Nabi Muhamamd tersebut yang bertujuan untuk mentransmisikan nilai-nilai positif yang sesuai dengan lingkungan masyarakat pembaca teks Isra’ Mi’raj tersebut.
Berikutnya, I Kadek Widiatana membahas “Citra Perempuan dan Kedudukan Satua Ni Diah Tantri dalam Masyarakat Bali.” (DS 0030 00044) melalui kajian perbandingan teks-teks satua (cerita prosa lisan turun-temurun masyarakat Bali), dijelaskan bahwa perempuan bukanlah kaum kelas dua. Teks Satua Ni Diah Tantri mengharuskan perempuan untuk menguasai ilmu pengetahuan, cerdas, berani, dan bijaksana.
Topik “Serat Damarwulan dari Banyuwangi: Kekhasan Tokoh-Tokoh Perempuan” (DS 0038 00001) dibahas oleh Mashuri yang mengungkapkan bahwa terdapat dominasi tokoh-tokoh perempuan terhadap para tokoh laki-laki dalam teks tersebut serperti Anjasmara, Dewi Wahita, dan Dewi Puyengan. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya perempuan memiliki peranan yang krusial dan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam kebudayaan Nusantara.