Surau yang Menyertai Naskah Sijunjung
Surau-surau di Sijunjung, Sumatera Barat di masa lampau adalah pusat pembelajaran Islam yang selaras dengan budaya lokal. Naskah-naskah di daerah ini ditulis oleh ulama sekaligus tokoh adat, sehingga menjadi warisan intelektual ranah Minang.
Nur Ahmad Salman Herbowo
13 November 2024
Naskah kuno dan surau memiliki hubungan erat dalam sejarah budaya dan pendidikan Islam di wilayah Sumatera bagian barat. Di Sijunjung, yang berjarak sekitar 100-an kilometer dari Padang, surau memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam. Seperti umumnya di daerah-daerah Sumatera Barat, surau berfungsi sebagai pusat keagamaan, pendidikan, dan sosial bagi masyarakat Minangkabau.
Surau-surau di Sijunjung, terutama pada abad ke-17, menjadi tempat pengajaran agama melalui pemahaman terhadap teks-teks keagamaan di bidang fikih, tauhid, dan tasawuf. Teks-teks yang dituangkan dalam karya tulis ulama lokal itu kemudian menjadi pegangan hidup masyarakat setempat. Di tanah Sijunjung, nilai Islam selaras dengan kearifan lokal Minangkabau sehingga naskah-naskah yang ditemukan di sini seluruhnya mengandung falsafah "Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah" (Adat bersandar pada syariat, syariat bersandar pada Al-Quran). Biasanya ditulis seorang ulama sekaligus tokoh adat sebagai karya orisinal yang tidak ditemukan di tempat lain.
Surau-surau di Sijunjung membentangkan sejarah sendiri terkat pemeliharaan surau dan naskah kuno. Banyak naskah ditemukan di sini karena memang diwariskan turun-temurun sebagai sumber ilmu, bukan sekadar benda pusaka. Sejumlah naskah dari Sijunjung yang telah disimpan di museum dan lembaga kebudayaan Sumatera Barat membuktikan adanya tradisi intelektual di daerah yang sebelum tahun 2008 bernama Sijunjung Sawahlunto ini. Di masa lampau, Sijunjung merupakan tempat kedudukan "Rajo Ibadat", salah satu dari tiga raja yang berkuasa di bidang keagamaan dalam lingkup administrasi Kerajaan Pagaruyung.
DREAMSEA turut menyelamatkan naskah-naskah Sijunjung melalui program digitalisasi. Salah satunya, di Surau Syekh Muhammad Yasin pada tahun 2020. Nama surau dinisbatkan pada Syekh Muhammad Yasin Anku Qadi Koto Tuju yang bergelar Malin Mandaro yang wafat pada 14 Agustus 1948. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai ulama beraliran tarekat Syattariyah yang berpengaruh di tanah Minang.
Menurut Pramono, ahli manuskrip Minangkabau, Syekh Muhammad Yasin juga dikenal sebagai tokoh adat masyarakat Tanjung Ampalu di Koto, salah satu kecamatan di Sijunjung. "Perpaduan sebagai ulama dan tokoh adat membuatnya dikenang sebagai ulama yang memiliki sikap moderat: indak ado kusuik nan indak salasai (tidak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan)," ungkap Pramono saat berbincang dengan Tim DREAMSEA pada 2020.
Pada awalnya, surau Syekh Muhammad Yasin didirikan hanya digunakan untuk shalat berjemaah lima waktu, tarawih, dan ibadah lainnya. Lambat laun berkembang menjadi tempat mengaji dan memperingati hari-hari besar Islam. Selain mendidik para santrinya yang kemudian menyebar ke berbagai tempat lain, Syekh Muhammad Yasin menjadikan surau ini sebagai pusat pertemuan komunitas untuk berdiskusi dan mempererat silaturahim.
Sebagaimana arsitektur surau yang khas bangunan Minang dengan atap bergonjong dan struktur kayu, naskah yang ditemukan di sini mencerminkan budaya setempat. Tulisan-tulisan tangan Syekh Muhammad Yasin berisi ajaran agama Islam yang konstektual dengan budaya lokal.
Kondisi fisik manuskrip di surau ini bervariasi. Beberapa manuskrip mungkin masih dalam kondisi baik, sementara yang lain nampak rusak karena faktor usia dan kondisi lingkungan. Pengurus surau telah berupaya melestarikannya melalui perawatan fisik dan digitalisasi. Mereka melakukan preservasi naskah karena sadar bahwa karya tulis tangan Syekh Muhammad Yasin merupakan bagian penting dari identitas budaya dan sejarah Sijunjung-Sumatera Barat. Di sini hanya naskah asli tertentu yang dapat diakses, itu pun terbatas untuk kepentingan akademik.
"Manuskrip-manuskrip tersebut dipelihara dengan baik oleh ahli waris Syekh Muhammad Yasin. Naskah-naskah umumnya tebal mengandung beragam teks keagamaan, seperti tafsir, fikih, nahu, saraf dan tasawuf," kata Pramono yang juga akademisi di Universitas Andalas.
Terdapat sedikitnya 20 judul naskah yang tersimpan di rumah cucu Syekh Muhammad Yasin. Semua naskah itu ditulis dalam bahasa Arab dan dulunya digunakan sebagai materi pembelajaran bagi santri. Hingga kini, naskah masih terawat dengan baik. Naskah-naskah tersebut seluruhnya dapat dilihat di dalam Repository DREAMSEA koleksi Surau Subarang Skhaikh Yasin, Sijunjung Sumatra Barat.
Naskah-naskah dimaksud terdiri dari beberapa genre, yaitu:
Menurut Pramono, naskah-naskah itu memiliki keistimewaan dibanding naskah sejenis di Sumatera Barat. Selain jumlahnya lebih banyak, isinya juga kaya dan mendalam. "Naskah ini penting untuk bahan penulisan sejarah Sijunjung, terutama terkait dinamika keislaman di tingkat lokal," katanya. ***