Jejak Ulama Hadrami di Tanah Betawi
Ulama-ulama asal Hadramaut, Yaman, berkiprah mencerdaskan umat Islam di Batavia melalui karya tulis tentang fikih, hingga ilmu sulap. Sebagian naskah karya tulis itu tersimpan di perpustakaan Jamiat Kheir di Tanah Abang, Jakarta Pusat. DREAMSEA mendigitalkan sekira 5.000 halaman dari 11 bundel naskah.
Fathurrahman Karyadi & Abdullah Maulani
21 Februari 2024
BATAVIA pada abad ke-18 menarik minat orang-orang Arab Selatan untuk mendatanginya. Mereka yang umumnya keturunan Alawiyin dari Hadramaut, Yaman Selatan, itu lalu menetap di kota yang kini berjuluk Jakarta. Komunitas Hadrami—demikian biasa disebut—itu berbaur dengan pendatang lain dari berbagai tempat beserta pribumi yang menghuni Batavia dan membentuk masyarakat Betawi. Ada perbedaan pendapat tentang asal-usul Betawi sebagai penduduk. Menurut sejarawan Australia, Lance Castle, orang-orang Betawi sebagai etnis baru tercatat dalam sensus demografi Belanda pada tahun 1930 karena dalam sensus sebelumnya pada 1815 belum disebut. Sementara sejarawan Ridwan Saidi berpendapat bahwa Betawi melekat dengan kata Batavia seiring perubahan nama keraton Jayakarta setelah ditaklukan oleh J.P. Coen pada 1619. Ada pula yang menyebut Betawi berasal dari ejaan bahasa Belanda di masa lalu, Betuwe, untuk menyebut wilayah Batavia yang diadopsi dari nama suku kuno Jerman, Batavi, sebagai leluhur orang Belanda.
Pada awal abad ke-20, komunitas Hadrami membentuk perkumpulan. Namanya, Jamiat Kheir atau perkumpulan untuk kebaikan. Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Shahabuddin tercatat sebagai pendiri perkumpulan bersama sedikitnya 20 nama lain. Tokoh seperti Sayyid Abubakar bin Muhammad bin Abdulrahman Alhabsy dan Sayyid Idrus bin Ahmad bin Muhammad Shahab masuk dalam kepengurusan. Situasi politik memaksa Jamiat Kheir hanya beraktivitas di Jakarta, namun sejumlah anggotanya berpencar menjalankan visi-misi di sejumlah kota dengan nama lain seperti Al-Khairiyah di Jawa dan Al-Khaerat di Sulawesi, bergabung dengan organisasi lain, atau membentuk organisasi baru. Sebagian mereka kemudian dikenal sebagai aktivis pergerakan seperti Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto, Hasan Jayadiningrat, dan Ahmad Dahlan.
Setelah secara administratif disahkan oleh karesidenan di bawah pemerintahan Belanda pada 17 Juni 1905, organisasi ini menegaskan anggaran dasarnya untuk bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran. Pada 24 Oktober 1906, Jamiat Kheir resmi memiliki lembaga pendidikan Islam dengan pengajar dari kalangan Alawiyin maupun ulama asli Betawi seperti Kiai Sabilur Rosyad dan KH Abdurrahman Nawi. Lulusan dari sini saat itu dianggap setara dengan alumni Al-Azhar Mesir. Ini memantik minat banyak pelajar, apalagi pengelola tidak memasang tarif belajar alias gratis.
Pada 3 Oktober 1910, Jamiat Kheir mendirikan perpustakaan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar. Habib Abdullah bin Alwi Alatas (1840-1929 M) berperan besar dalam mewujudkan upaya tersebut. Ia membeli rumah mertuanya, Said Abdul Aziz Al-Musawi yang saat itu bertugas sebagai Konsul Turki, untuk dijadikan ruang baca dan tempat mengoleksi buku. Kini rumah itu menjadi Museum Tekstil di Petamburan. Sementara Perpustakaan Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir kini berlokasi di Jalan KH Mas Mansyur. Keduanya berada di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Habib Abdullah bin Alwi Alatas adalah ulama sekaligus pedagang yang memiliki pergaulan luas dan berwawasan maju. Ia menyokong berdirinya organisasi Islam di Indonesia seperti Al-Irsyad, Rabithah Alawiyah, dan Muhammadiyah. Ia juga berada di balik pendirian Oetoesan Hindia, surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Surabaya di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto untuk menyuarakan pergerakan pemuda. Di kancah internasional, Habib Abdullah berhubungan erat dengan tokoh pembaruan Muhammad Abduh dari Mesir dan Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, ulama dan sastrawan asal Palestina.
Habib Abdullah menggemari bacaan dan produktif menulis. Perpustakaan pribadinya terbilang lengkap di masanya, dan sebagian berupa karya tulis tangan atau manuskrip. Singkat cerita, sepeninggal Habib Abdullah, pihak keluarga menghibahkan koleksi naskah itu ke Rabithah Alawiyah dan ditempatkan di lembaga otonom di bawahnya yang mengurus pustaka, yakni Perpustakaan Madrasah Jamiat Kheir. National Geographic menyebut, jumlah koleksi buku termasuk naskah kuno yang dihibahkan keluarga Habib Abdullah ke Rabithah Alawiyah mencapai 30.000 judul. Sayangnya, lama-lama koleksi itu tinggal tersisa 5 persen.
Pada 2019, manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Jamiat Kheir diketahui dalam kondisi memprihatinkan. Tidak terurus, hanya diletakkan di dalam kardus di atas rak lemari buku-buku lawas. Naskah-naskah Islam itu lusuh berbalut debu di ruangan yang pengap tanpa mesin pendingin udara. Tiga tahun kemudian, DREAMSEA mengusulkan pendigitalan manuskrip tersebut. Gayung bersambut, pimpinan Jamiat Kheir memberikan lampu hijau.
“Sudah saatnya khazanah turats warisan para habib didigitalisasi agar mudah diakses masyarakat. Entah sudah berapa puluh atau bahkan berapa ratus tahun tidak dimanfaatkan,” kata Ketua Jamiat Kheir Habib Umar Al-Haddad, saat ditemui di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Selasa, 23 Agustus 2022.
Habib Ali Hasan Al-Bahar, sekretaris Jamiat Kheir, mengungkapkan, komunitas Hadrami memiliki tradisi tulis-menulis yang kuat. Di hampir setiap rumah habaib yang berusia tua terdapat manuskrip seperti catatan nasab, dzikir, dan sebagainya. Hal ini diamini peneliti sejarah Islam, Habib Alwi Alatas, yang menulis buku Islamic Reformism in the Netherlands East Indies: The Role and Thought of ‘Abdullah Ibn ‘Alawi ibn ‘Abd Allah al-‘Attas (1844-1929).
Menurut dia, Jamiat Kheir sebagai organisasi pembaharu, yang dibentuk pada akhir abad ke-19 oleh kalangan Hadrami, terpengaruh ide-ide pembaruan Islam dari Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Makanya, wajar jika koleksi perpustakaannya melimpah baik berupa buku, surat kabar, ataupun manuskrip.
Pengajar di sebuah universitas di Malaysia, ini mengaku pernah membaca kitab Syamsu Zahira yang di dalamnya terdapat kolofon dengan keterangan dari Ustadz Dhiya Shahab bahwa sebanyak 500 buku milik Habib Abdulllah bin Alwi Alatas telah disumbangkan ke Perpustakaan Jamiat Kheir. Sayangnya, sulit diketahui dengan pasti berapa banyak koleksi bukunya dan apa saja isinya. Yang jelas, pada tahun 1910-an atau 19 tahun sebelum Habib Abdullah wafat, perpustakaan itu sering dikunjungi anak muda dan tokoh-tokoh pergerakan untuk menimba pengetahuan. Kemudian ketika Jepang datang menjajah, perpustakaan itu ditutup dan koleksinya dirampas sehingga banyak yang hilang bahkan hingga kini tak jelas rimbanya.
“Terlalu sedikit informasi yang dapat diketahui tentang perpustakaan Jamiat Kheir,” kata Habib Alwi Alatas sembari menghela napas.
Meski demikian, hal itu tak mengurangi bukti luasnya keilmuan yang terkandung dalam manuskrip-manuskrip koleksi ulama Hadrami di tanah Betawi. Berdasarkan temuan DREAMSEA, terdapat sekira 5.000 lembar halaman dari 11 bundel naskah yang teronggok di perpustakaan Jamiat Kheir. Sebagian besar merupakan koleksi dari Habib Abdullah, dan sisanya milik Habib Abdurrahman bin Idrus bin Syihab dari Pekalongan. Hampir semua koleksi naskah berisikan ilmu pengetahuan Islam, termasuk naskah kitab kuning yang biasa ditemukan di pesantren seperti Minhaj at-Talibin dan Tuhfah al-Muhtaj.
Jika dikelompokkan berdasarkan temanya, manuskrip-manuskrip koleksi Jamiat Kheir yang telah didigitalkan terbagi ke dalam 11 kategori, sebagai berikut:
Pertama, naskah biografi. Kisah kehidupan Habib ‘Umar ibn ‘Abd al-Raḥmān al-‘Aṭṭās ditulis oleh ‘Alī ibn Ḥasan al-Aṭṭās dengan judul Al-Qirṭās fī Manāqib al-Aṭṭās. Tebalnya 317 halaman.
Kedua, naskah tata bahasa Arab. Manuskrip ini terdiri atas 4 teks yang berisi tentang tata bahasa Arab. Ada syair Arab mengenai sanjungan penyair yang tak cukup diutarakan dengan kata-kata dan syair Arab mengenai prosa di Arab. Terdapat keterangan bahwa manuskrip ini diberikan oleh seseorang (nama tak terbaca karena kertas sudah berlubang) kepada Habib Alwi bin Abdullah (ayah Habib Abdullah) pada Rabī‘ al-Awwal 1282 H/Agustus 1865 M. Terdapat stempel Rabithah Alawiyah dan Jamiat Kheir. Di antara judulnya ialah Alfiyyah ibn Mālik, Al-Balīg fī al-Ma‘ānī wa al-Bayān wa al-Badī‘, dan Dīwān Ṣafī al-Dīn al-Ḥillī.
Ketiga, lembaran naskah ilmu sulap. Istilah sulap diadopsi dari kata Zairja (akronim dalam bahasa Persia; zaicha/horoskop dan daira/lingkaran). Ibnu Khaldun menyebut ilmu ini sebagai cabang ilmu sulap yang menggunakan huruf abjad atau permainan kosakata. Teks ini syarh dari kitab ‘Aẓāim al-Naf‘ yang dinisbatkan sebagai karya al-Shaykh al-Akbar Muḥy al-Dīn Muḥammad bin ‘Ali ibn ‘Arabī yang terdiri atas 93 nazam. Judul manuskrip ini, Al-Witr wa al-Shaf‘ fī Sharḥ ‘Aẓāim al-Naf‘ karya ‘Alī ibn Sulaymān al-Sālimī al-Mālikī.
Keempat, manuskrip tentang sejarah, sastra, dan tarekat. Manuskrip ini terdiri atas 7 teks yang berisi tentang nasihat Habib al-Ḥasan ibn Ṣālih al-Baḥr untuk para tokoh Ḥaḍramī, syair pujian untuk Habib al-Ḥasan ibn Ṣālih al-Baḥr dari Habib ‘Umar ibn Saqāf ibn Muḥammad, dan tarekat Alawiyah. Di antara judulnya, Waṣāyā al-Ḥabīb Al-Ḥasan ibn Ṣālih al-Baḥr al-Jufrī, Syi‘r Madḥ fī al-Ḥabīb al-Ḥasan ibn Ṣāliḥ al-Baḥr al-Jufrī, Waṣāyā al-Ḥabīb al-Ḥasan ibn Ṣāliḥ al-Baḥr al-Jufrī wa Syi‘r al-Madḥ lahū, Su’āl wa Jawāb fī Ṭarīq al-Sādah Āl Abī ‘Alawī, Kaifiyyah Ṣalāh al-Istikhārah, Dīwān al-Ḥabīb al-Ḥasan ibn ‘Alī al-Jufrī, dan Qaṣīdah Madīḥah fī al-Ḥabīb al-Ḥasan ibn Ṣāliḥ al-Baḥr.
Kelima, manuskrip tentang fikih bermazhab Syafii. Judulnya, Minhāj al-Ṭālibīn wa ‘Umdah al-Muftīn karya Abū Zakariyā Yaḥyā Sharaf al-Dīn al-Nawawī. Manuskrip ini merupakan pemberian dari Muḥammad ibn Bābahīr kepada Habib ‘Alwī ibn ‘Abdullāh ibn Muḥsin pada 10 Muḥarram 1281 H/15 Juni 1864 M. Mansukrip ini diduga diwariskan kepada putranya, Habib Abdullah bin Alwi Alatas. Setelah Habib Abdullah bin Alwi Alatas wafat, keluarganya menghibahkan koleksi perpustakaannya tersebut pada Rabithah Alawiyah, yang kemudian menjadi koleksi Perpustakaan Madrasah Jamiat Kheir.
Keenam, manuskrip berisi etika. Terdapat petuah dan pujian dari ‘Abdullāh ibn al-Ḥusain Bilfaqīh untuk ahlulbait dan beberapa tokoh komunitas Alawiyin terdahulu di Hadramaut. Manuskrip ini milik Zayn ibn ‘Alwī ibn Zayn al-Ḥabshī. Kemudian manuskrip ini menjadi koleksi Perpustakaan Madrasah Jamiat Kheir. Judulnya Khayr al-Bārī al-Maṣūn karya Zayn ibn ‘Alwī ibn Zayn al-Ḥabshī, 257 halaman.
Ketujuh, manuskrip sastra. Isinya hanya terdiri dari tiga teks. Dua teks awal merupakan edisi cetak dari nazam Zubad dan hasyiyah atas Raf‘ al-Astār ‘an Dimā’ al-Ḥajj wa al-I‘timār. Teks ketiga berupa nazam Zubad yang masih berupa tulisan tangan. Terdapat sepenggal tulisan "Saya mengkhatamkan kitab matan al-Zubad ini di bawah bimbingan Sayid 'Umar bin Sayid Muhammad Shaṭā .... pada 25 Muharam 1321 H." Adapun pemiliknya ialah al-faqīr Hasan bin Abdus Syakur bin almarhum Abdul Jalil Surabaya. Dalam manuskrip tsabat Rauḍah al-Wildān, Habib Salim bin Jindan pernah menuliskan nama salah satu gurunya yang bernama Hasan. Ayah Kiai Hasan, Kiai Abdus Syakur ini termasuk guru Kiai Hasyim Asy'ari.
Kedelapan, manuskrip sintaksis Arab. Yakni, naskah berjudul Al-‘Awāmil dan Matn al-Ājurūmiyyah. Setiap teks mengandung terjemah gantung menggunakan Jawa Pegon dan i‘rāb dari setiap kata.
Kesembilan, naskah fragmen mushaf Al-Quran. Terdiri dari sebuah teks yang berisi bagian dari surah Al-Qur’an; surah Ali Imran ayat 142 hingga 154.
Kesepuluh, naskah fikih. Isinya teks juz kedua dari Tuḥfah al-Muḥtāj bi Sharḥ al-Minhāj karya Aḥmad ibn Muḥammad ibn ‘Alī ibn Ḥajar al-Haytamī al-Shafi‘ī. Manuskrip ini terdiri dari satu teks berisi tentang hukum jual beli hingga tanam modal atau qirāḍ, 576 halaman.
Kesebelas, naskah fikih berbentuk syair. Judulnya Mawāhib al-Ṣamad fī Ḥill Alfāẓ al-Zubad karya Aḥmad ibn Ḥijāzī al-Fashnī, sebanyak 548 halaman. Manuskrip ini berasal dari ‘Abd al-Ḥalīm ibn Ḥājj Muḥammad Zayn ibn Ḥājj Maḥmūd ibn Ḥasan al-Jāwī Batāwī al-Aṣl diberikan kepada Habib ‘Alwī ibn ‘Abdullāh ibn Muḥsin Alatas.