Desa-desa lawas di Indramayu, Jawa Barat, menyimpan naskah kuno sebagai aset ingatan bersama seluruh warga, bukan warisan perorangan. Tokoh masyarakat dan lembaga nirlaba bentukan warga lokal menjalankan peran sentral untuk menjaga warisan budaya. Isi naskah didominasi arsip administrasi, tak terkecuali laporan pernikahan dan perceraian.
Rahmatia Ayu Widyaningrum & Muhammad Heno Wijayanto
18 Maret 2024
DERMAYU, kata yang disebut dalam judul tulisan ini, adalah nama lawas dari sebuah kota di jalur pantai utara Jawa Barat yang pada abad ke-16 didatangi banyak pedagang mancanegara. Mereka masuk ke kota itu setelah melempar sauh di Pelabuhan Cimanuk. Saat ini Dermayu sudah bersalin nama menjadi Indramayu dan terkenal dengan sebutan kota mangga.
Banyaknya pendatang di Indramayu menumbuhkan beragam budaya massal. Di bagian pesisir, tradisi Tionghoa seperti Imlek dan kirab sedekah bumi ramai dirayakan setiap tahun. Sementara di bagian tengah, tradisi tulis Arab berkembang di pesantren dan surau. Tradisi tulis ini berkecambah di masyarakat Indramayu yang mayoritas beragama Islam. Buku Katalog Naskah Indramayu karya Christomy dan Nurhata menyebutkan sejumlah ragam manuskrip yang didapati di daerah itu. Mulai dari tembang pewayangan hingga catatan utang-piutang.
Naskah-naskah kuno Indramayu masih dapat ditemui karena para pewarisnya menjaga dengan baik. Ini bukan semata menjaga fisik naskah dalam bentuk kertas maupun lontar, melainkan juga mempertahankan pengetahuan yang tertulis dalam setiap lembaran. Terdapat sosok dan lembaga yang menjalankan peran signifikan sehingga memungkinkan naskah terjaga secara turun-temurun.
Ki Tarka Sutarahardja (1970-2021) adalah salah satu contoh sosok penting dalam pelestarian naskah Indramayu. Jika ditanya profesinya, pria ini mengaku hanya petani kecil di Cikedung, sebuah kecamatan di wilayah paling selatan Indramayu yang berbatasan dengan kabupaten Majalengka. Namun, kemampuannya tak kalah dengan ahli filologi. Tidak hanya melacak keberadaan naskah di berbagai tempat, ia menerjemahkannya ke aksara Latin dari aksara Jawa, Arab, dan Pegon. Ia juga mendampingi pemilik naskah dan pihak-pihak terkait, termasuk mendirikan Sanggar Aksara Jawa sebagai wadah pemberdayaan komunitas pelestari naskah Indramayu.
Sosok lainnya, Khairul Isma Arif, seorang lurah di Krasak, desa di wilayah kecamatan Jatibarang. Pria yang biasa disapa Kuwu—sebutan bagi pemimpin desa—ini mempercayakan sebanyak 96 bundel manuskrip kepada Yayasan Surya Pringga Dermayu untuk didigitalkan oleh DREAMSEA.
Manuskrip Krasak merupakan kumpulan berbagai arsip desa. Di dalamnya terdapat catatan jual-beli, catatan utang, dokumen pernikahan dan perceraian, laporan kematian, daftar nama pejabat desa dari generasi ke generasi, dan luas lahan desa dari tahun 1848-1930. Terdapat pula hikayat populer, seperti Nabi Paras, Nabi Mi’raj, dan cerita-cerita lokal lainnya. Manuskrip Krasak ditulis pada kertas daluwang dan kertas Eropa (kebanyakan), baik berupa buku, lembaran surat, maupun manuskrip gulungan. Sebagian besar manuskrip di desa ini tidak diketahui penulis maupun penyalinnya (anonim) karena tidak disimpan di rumah warga secara perorangan tetapi dikumpulkan menjadi satu oleh Lebe—sebutan bagi pejabat desa bagian kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kepemilikan manuskrip di desa itu bersifat kolektif, hanya pengelolaannya ditangani lebe. Orang yang menduduki jabatan lebe biasanya berasal dari tokoh agama. Dalam sistem pemerintahan tradisional desa, tugasnya membantu kuwu menyelesaikan persoalan warga.
Penemuan manuskrip Krasak bermula dari pelaksanaan tugas bersama. Dalam diskusi mencari jalan keluar atas masalah desa, terungkap adanya sumber-sumber sejarah yang tersimpan di rumah lebe. Ketika diverifikasi ke lapangan, benar saja terdapat sejumlah manuskrip yang dikemas dalam satu buntal (gulungan besar). Pejabat lebe periode sebelumnya menyerahkan “agem-agem” atau gaman untuk kuwu baru. Bentuknya berupa payung tiga susun yang telah rusak, buntalan kain putih yang dekil, dan benda lawas lainnya termasuk sebuah cepon—keranjang bambu—yang memuat bungkusan kain kafan berlapis. Saat kain dibuka, isinya ternyata lembaran-lembaran naskah yang lusuh. Segera saja Khairul mengontak Yayasan Surya Pringga Dermayu untuk mengidentifikasi isi manuskrip.
“Naskah-naskah tersebut tidak sengaja ditemukan saat sedang berbincang dengan perangkat desa. Saat itu, kami resah karena sejarah Desa Krasak hanya dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi tanpa referensi valid dari sumber tertulis,” ungkap Khairul saat ditemui di desanya pada pertengahan Juli 2023.
Kondisi awal manuskrip Desa KrasakUpaya menyimpan naskah dengan dibungkus kain kafan yang ditaruh di cepon adalah kearifan lokal yang perlu dihargai. Sayangnya, naskah hanya ditumpuk begitu saja secara acak di dalam buntalan kain. Akibatnya, banyak naskah yang tercecer dan terlepas dari jilidan. Setelah disusun ulang, diketahui bahwa naskah-naskah Krasak terdiri dari sedikitnya tiga kategori. Pertama, dokumen administrasi warga desa seperti laporan kelahiran dan kematian serta pernikahan dan perceraian; catatan aset warga; daftar lansia dan hasil sensus penduduk; dan deretan nama-nama janda yang tinggal di Desa Krasak (Buku Wong Rangda Wadon). Kedua, salinan surat kabar dari tahun 1896 yang disalin oleh Brata Wijaya dan surat undangan rapat pengurus desa. Ketiga, teks keagamaan seperti khutbah hari raya, fragmen ayat Al-Quran, doa-doa para nabi. Pada kategori ini terdapat pula naskah berisi sintaksis bahasa Arab disertai kolofon, misalnya, Kitab Haq Yahya Krasak distrik Teluk Agung Nagri Dermayu bin Haji Musthafa Krasak (Lihat: Kolofon Naskah DS 0152 00036).
Isi naskah-naskah itu mengungkapkan bahwa masyarakat Krasak pada abad ke-19 sudah terdidik sehingga memiliki kesadaran untuk mengarsipkan dokumen-dokumen tertulis mereka. Tidak hanya itu, mereka juga mengenal bahan yang berkualitas untuk mencatat dokumen. Di antara tumpukan manuskrip yang ditemukan terdapat arsip-arsip desa yang ditulis pada kertas Eropa dengan watermark dan countermark, seperti Concordia, Propatria, C.B & G.K.
Watermark pada naskah DS 0152 00019
Sejauh ini belum ditemukan catatan tentang asal-usul desa itu sehingga harapan para tetua untuk menarasikan sejarah Desa Krasak masih tertunda. Meski begitu, mereka tak mempermasalahkannya. Terpenting, naskah dapat dibaca dan diketahui isinya oleh generasi sekarang.
“Kalaupun isinya tidak berkaitan dengan asal-usul Krasak, setidaknya saya dapat mengatakan bahwa di desa kami pada zaman Belanda dulu sudah ada orang terdidik yang bisa menulis dan paham administrasi desa. Kami jadi tahu bahwa desa kami telah lama memiliki sistem administrasi yang tertata,” kata Khairul.
Tradisi menyimpan naskah seperti dipraktikkan warga Krasak juga terjadi di sejumlah desa lain. Sebut saja misal, di Pamayahan dan Legok di Kecamatan Lohbener. Warga di dua desa yang berjarak sekira setengah jam perjalanan mobil dari Krasak itu menjadikan manuskrip sebagai aset bersama yang pengelolaannya dipercayakan kepada tokoh atau pengurus desa yang berposisi sebagai lebe.
Pada tahun 2018, DREAMSEA mulai mendigitalkan manuskrip di Indramayu. Penelusuran naskah di berbagai desa dibantu oleh Ki Tarka. Tiga tahun berselang, tepatnya pada 2021 semasa pandemi Covid-19, digitalisasi kedua dilakukan. Kemudian pada 2023, digitalisasi dilanjutkan. Kali ini mengalih-mediakan manuskrip yang dititipkan di Yayasan Surya Pringga Dermayu (YSPD). Yayasan yang berkantor di Cikedung ini merupakan nama baru Sanggar Aksara Jawa yang kini dipimpin Sri Tanjung Sugiarta sepeninggal ayahnya, Ki Tarka Sutaraharja.
“Manuskrip yang berada di yayasan sebagian besar adalah milik masyarakat setempat. Mereka lebih percaya untuk dititipkan di sini karena mereka tidak memiliki tempat penyimpanan yang layak seperti di yayasan, selain itu, mereka juga ingin agar naskahnya dibacakan supaya mengerti isinya,” ungkap Sri Tanjung.
Sri Tanjung mengungkapkan, pihaknya memang berupaya mengembangkan nilai-nilai pengetahuan yang ada dalam manuskrip, seperti budaya, sejarah, keagamaan, tradisi, dan lain sebagainya. “Misi utama kami berfokus mempertahankan seni tradisi Macapat (Bujanggaan) di Indramayu dengan cara mengumpulkan dan menyelamatkan manuskrip-manuskrip yang terancam dan masih tersebar di masyarakat,” katanya saat ditemui pada Kamis malam, 20 Juli 2023.
Ketika digitalisasi dilakukan, Sri Tanjung berperan ganda. Selain sebagai tuan rumah, ia menjadi fotografer. Hari demi hari selama dua pekan melakukan digitalisasi berjalan positif. Setiap hari naskah yang ditemukan bertambah. Dari semula hanya 29 naskah berbahan kertas dan lima manuskrip berbahan lontar pada hari pertama, di ujung pekan tim berhasil mengumpulkan sebanyak 127 bundel manuskrip dari enam pemilik naskah.
Proses preservasi diawali dengan mengindentifikasi manuskrip berbentuk lembaran sesuai dengan ukuran kertas, menyisihkan manuskrip yang berbentuk surat, dan buku. Selanjutnya, pemotretan dilakukan dengan mendahulukan manuskrip yang kondisinya baik. Sementara manuskrip yang rusak atau membutuhkan penanganan khusus dipotret belakangan setelah dibersihkan.
Pada hari ke-14, tim menghasilkan 11.788 gambar manuskrip digital dari berbagai jenis: buku, lontar, dan gulungan. Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari masyarakat dan pemerintah setempat. Dinas Perpustakaan Daerah Indramayu sempat berkunjung ke lokasi pemotretan untuk melakukan pengamatan dan peliputan. ***