Madrais mewariskan amanat leluhur Sunda melalui catatan-catatan yang ia goreskan dalam lembaran-lembaran folio pada masa kolonial Belanda. Di kemudian hari, sebagian manuskrip itu menjadi bukti persidangan dalam kasus sengketa lahan hutan adat Leuweung Leutik.


Euis Kurniasih
24 April 2024

Di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat terdapat Paseban Tri Panca Tunggal, sebuah cagar budaya nasional yang menyimpan sejumlah manuskrip peninggalan Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijayaningrat. Sapaan singkatnya, Pangeran Madrais, hidup pada tahun 1822-1939 banyak menulis catatan yang memuat ajaran Jawa Pasundan atau Sunda Wiwitan. Inti ajarannya menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Karya tulis tersebut diwariskan kepada keturunan dan pengikutnya yang kebanyakan tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

Nugrahanto, peneliti dan penulis disertasi “Gerakan Sosial Keagamaan Madrais” pada Universitas Padjadjaran Bandung, mengungkapkan bahwa Belanda mencurigai Madrais dan orang-orangnya sebagai kelompok berbahaya. Madrais berkali-kali dihukum dengan kerja tanpa upah, dipaksa membayar denda, dianggap bukan pangeran, bahkan sempat diasingkan ke Merauke yang berjarak 4.500 km dari tempat kelahirannya. Penganutnya juga sulit bergerak, kecuali pada tahun 1925, ketika penasihat Belanda untuk urusan pribumi mengirim surat ke Gubernur Jenderal D. Kock untuk memberi kebebasan bagi penganut Igama Djawa Soenda selama tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.

Sepeninggal Madrais, putranya, Pangeran Tedjabuwana, meneruskan ajaran ini dengan label Agama Djawa Soenda (ADS) untuk melewati masa-masa pemerintahan yang berbeda dan menantang. Belum sempat leluasa setelah dikekang kolonial Belanda, komunitas ini dihentikan oleh Jepang. Masuk ke masa awal kemerdekaan Indonesia, situasi makin pelik karena marak konflik horizontal di tingkat lokal. ADS dimusuhi pengikut Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan kelompok fundamentalis Islam setempat. Di masa Orde Lama, tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) yang terdiri dari unsur kejaksaan, Kementerian Agama, dan Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan dengan penganut ajaran ini. Sejak itu, Pangeran Tedjabuwana membubarkan organisasinya dan menyatakan diri masuk Katolik meski tetap menjalankan ritual Sunda Wiwitan.

Beralih ke masa Orde Baru, tekanan tak berkurang. Pangeran Djatikusumah, cucu Madrais, pada tahun 1980 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PAKCU) untuk menampung komunitas penerus ajaran kakeknya. Namun, hanya dua tahun berselang setelah terdaftar resmi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melarangnya karena dianggap sebagai bentuk baru dari Agama Djawa Soenda yang telah dibubarkan pada 1964. Keputusan ini menyemburkan hawa negatif bagi komunitas yang kemudian bergabung dalam masyarakat adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan. Angin segar baru terasa ketika masa Reformasi bergulir. Pangeran Djatikusumah membangun jejaring dengan pegiat toleransi dan tokoh-tokoh lintas-agama sehingga komunitas ini mendapatkan dukungan untuk menjalankan keyakinan, memperjuangkan hak sipil, dan melestarikan kearifan lokal leluhurnya. Tidak terkecuali, warisan berupa manuskrip ajaran Madrais.

Bagaimana manuskrip Madrais dapat selamat melewati berbagai tantangan?

Ini tak lepas dari siasat pewaris dan pengikutnya. Selama pendudukan Jepang, manuskrip tersebut dititipkan sementara di rumah Astra Djalil di Kuningan. Kemudian pada masa awal kemerdekaan, naskah dipindahkan ke Cirebon agar tidak dirusak kelompok DI/TII yang sedang bergerak ke desa-desa. Setelah situasi dianggap kondusif pada 1980, manuskrip dibawa kembali ke Paseban. Ketika Paseban dipugar pada 2006, manuskrip diangkut ke Jakarta oleh Emmy Ratna Gumilang Damiasih. Barulah pada tahun 2014 dikembalikan ke tempat asalnya, Paseban Tri Panca Tunggal, di Cigugur Kuningan.

Saat memimpin komunitas, Pangeran Tedjabuwana sempat khawatir kehilangan pewaris karena makin banyak penganutnya yang meninggal dunia. Mereka yang diketahui mampu membaca manuskrip Madrais semakin jauh berkurang. Karena itu, sejak 1996 ia mendorong putrinya, Emmy, untuk mempelajari tulisan dan alih aksara Nusantara hingga mahir. Hal ini di kemudian hari terbukti menyelamatkan warisan budaya maupun aset berharga peninggalan Madrais.

Ceritanya, pada tahun 2014, Emmy bertemu Tedi Permadi, filolog dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Tedi yang lancar membaca manuskrip Madrais diajukan oleh Emmy untuk menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus Leuweung Leutik—sengketa penguasaan lahan hutan seluas 6.287 meter di Cigugur Kuningan antara komunitas adat setempat dengan perseorangan atas nama Djaka Rumantaka. Sengketa ini berlarut-larut sejak 2009 karena kedua pihak berkukuh atas kepemilikan tanah. Pemilik sertifikat resmi tak bisa otomatis menguasai karena komunitas adat menyimpan catatan administrasi terkait tanah tersebut dari Madrais di masa lalu jauh sebelum peraturan agraria terbaru. Di sinilah Tedi berperan menyampaikan sekaligus menerjemahkan isi catatan-catatan Madrais yang memuat ukuran tanah hingga peruntukkannya sebagai bukti untuk memperkuat posisi komunitas adat penjaga hutan Cigugur Kuningan.

Selain berisi catatan administrasi, manuskrip Madrais juga mencatat peristiwa semisal pertemuan para raja Nusantara di Cigugur serta nilai-nilai luhur kebaikan dan semangat kebangsaan yang perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Dari sisi kajian filologi, menurut Tedi, manuskrip Madrais memiliki keunikan tersendiri. Perlu keterampilan khusus untuk membaca dan memahami isinya.

“Banyak kosa kata dalam manuskrip yang bersifat khas dan tidak terdapat dalam kamus, sehingga menyulitkan pemahaman teks naskah. Banyaknya kandungan isi naskah juga memerlukan waktu guna mengungkap keseluruhan pesan yang terkandung,” jelas Tedi tentang posisi manuskrip Madrais dalam khazanah pernaskahan Nusantara.

Tidak kalah penting, ia mengingatkan, “Secara fisik manuskrip ini sudah masuk kategori terancam punah.” Sebab itulah, ia menyarankan keluarga Pangeran Djatikusumah untuk melakukan digitalisasi sebagai langkah penyelamatan. Sayangnya, saran ini tak langsung disetujui karena trauma masa lalu akibat tekanan terhadap komunitas Sunda Wiwitan. Hingga suatu ketika, Emmy membaca isi manuskrip peninggalan kakeknya yang menyatakan bahwa sudah saatnya “diawur” (dibagikan) kepada khalayak. Pesan dalam manuskrip itu lantas disampaikan kepada Pangeran Djatikusumah yang akhirnya menyetujui upaya preservasi digital.

Pada 2018, Tedi Permadi menghubungi DREAMSEA untuk melakukan asesmen dan mengajukan program digitalisasi manuskrip peninggalan Pangeran Madrais yang berada di Paseban Tri Panca Tunggal. Gayung bersambut, tim segera diturunkan selama 20 hari pada 12-31 Oktober 2018 dengan target mendokumentasikan 235 manuskrip berbentuk buku yang tebalnya rata-rata 64 halaman atau setara 14.400 gambar. Pada November 2021, tim kembali turun ke Paseban untuk mendokumentasikan 265 manuskrip berbentuk buku.

Karena masih banyak manuskrip yang belum sempat disentuh, pada pertengahan 2022 tim kembali datang. Kali ini membina sejumlah siswa SMP Trimulya Cigugur Kuningan untuk membersihkan dan mengidentifikasi manuskrip yang bertumpuk. Kegiatan ini merupakan bentuk edukasi bagi pelajar terhadap preservasi manuskrip di daerahnya. Pada program digitalisasi yang ketiga, manuskrip yang telah dialihkan menjadi file adalah sebanyak 128 naskah yang meliputi 15.000 halaman. Berbentuk kertas folio lepasan, sebagian besar manuskrip nampak rapuh dan tulisan penanya tembus ke halaman belakang sehingga banyak terdapat halaman kosong di bagian recto-nya. Perlu ketelitian untuk memilah halaman berisi teks dan halaman kosong yang ternoda teks.

Hampir semua manuskrip Madrais ditulis dalam bahasa Sunda. Hanya sedikit naskah berbahasa Jawa dengan aksara Caraka. Salah satu ajaran Madrais yang tertulis pada manuskrip itu adalah bahwa manusia harus menyadari dua tugas terkait penciptaan dirinya. Pertama, sadar sebagai bangsa yang menjalankan kebangsaannya. Kedua, sadar sebagai manusia yang senantiasa menjaga alam karena kehidupan manusia tergantung dari alam. Ajaran seperti itu dinukil dari kearifan orang-orang Sunda zaman dahulu.

Dalam manuskrip Madrais tertulis kalimat bijak: Kiwari Ngancik Bihari Seja Ayeuna Pikeun Jaga. Terjemahan bebasnya, apa yang kita nikmati saat ini merupakan jerih payah para pendahulu, dan apa yang kita kerjakan hari ini adalah untuk masa depan.

erdigitalkannya manuskrip Madrais, dengan demikian, turut menjaga amanat leluhur Sunda koleksi Paseban yang terbukti di kemudian hari memberi manfaat bagi komunitas pewarisnya. Kini, publik dapat juga mengaksesnya secara bebas untuk keperluan riset melalui repository DREAMSEA, di link: Koleksi Paseban Tri Panca Tunggal.***


Translate »