Karya tulis peranakan Tionghoa dengan bahasa Lontara bukan hanya menyimpan memori keakraban pendatang dari Tiongkok dan pribumi Makassar, tapi juga menjadi fenomena menarik dalam khazanah sastra Melayu-Indonesia. DREAMSEA berhasil mendigitalkan 500 bundel manuskrip dari 2.000 naskah karya Liem Kheng Young yang umumnya berisi cerita klasik Tionghoa..


Husnul Fahimah Ilyas & Lilis Shofiyanti
18 Maret 2024

Rabu, 3 April 2019. Jarum jam menunjuk pukul 09.00. Go Lan Ing beserta anak, menantu, dan cucu-cucunya menapaki pekuburan Cina Pannara Antang di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sampai di makam leluhurnya, mereka membakar lilin, merapalkan doa, lalu menabur bunga. Dari Pannara, keluarga ini berpindah ke pemakaman Bolangi Gowa. Hal yang sama mereka lakukan ketika berada di pusara Liem Kheng Young. Hari itu, Go Lan In dan keluarga sengaja berkumpul melakukan tradisi tahunan Cheng Beng atau disebut juga Qingmingjie, berziarah kubur sekira dua bulan setelah hari raya Imlek.

Liem Kheng Young adalah penulis sastra berbahasa Makassar dan Cina yang produktif sekitar tahun 1928-1936 dengan nama pena 'Angko Sura'. Hingga tahun 1960-an, karya-karyanya seperti Sie Jin Kue, Hong Sing, dan Sam Peng Eng Tai, masih bisa dinikmati para penggemar buku cerita klasik Tionghoa.

Liem lahir tahun 1875 di Fujian, salah satu provinsi di pesisir selatan Tiongkok. Ia hijrah ke Makassar mengikuti orangtuanya yang berdagang barang pecah belah. Di masa itu Makassar sudah menjadi kota niaga besar yang menghubungkan perdagangan mancanegara. Sebagian pedagang dari berbagai penjuru bermukim di situ membentuk perkampungan berbasis komunitas. Ada Kampung Butung yang berisi pedagang asal Buton, Kampung Melayu, Kampung Balandaya (orang-orang Eropa), dan Pecinan atau Kampung Cina bagi permukiman komunitas Tionghoa.

Maraknya kehadiran orang-orang Tionghoa di Sulawesi Selatan terdapat dalam catatan Belanda pada abad ke-17. Disebutkan bahwa pada tahun 1650-1660, pedagang asal Tiongkok turut berdagang kulit penyu bersama pemain bisnis dari Eropa dan India. Kala itu Belanda berburu kulit penyu dari Sulawesi, Borneo, Kepulauan Sunda Kecil, dan Sumatera. Pada tahun 1657 loji Belanda berhasil mengumpulkan kulit penyu dari para makelar Tionghoa yang mendapatkan pasokan dari warga lokal Makassar.

Trulli
Perpaduan aksara Han Zi dan Lontara dalam halaman naskah.

Lambat laun makin banyak pedagang Tionghoa yang menetap di Makassar. Awalnya, mereka mendiami kawasan armada niaga di sekitar benteng Somba Opu. Piawai berinteraksi dengan warga lokal, mereka kemudian menjadi bagian penting dari proses sosial-ekonomi di wilayah yang sempat berjuluk Ujung Pandang itu. Sebagian dari mereka menikah dengan pribumi dan berbaur dengan budaya setempat. Dari sinilah tumbuh peranakan Tionghoa-Makassar yang makin ke sini lebih merasa sebagai warga lokal. Generasinya sekarang umumnya tak lagi berbahasa Cina.

Tidak sedikit peranakan Tionghoa yang fasih berbahasa Makassar tingkat tinggi. Sebut saja misal, Ho Eng Dji, yang dikenal sebagai penyair. Nama lainnya, Ang Bang Tjiong, ahli pantun Makassar dan Melayu. Karya tulisan tangan sastrawan peranakan Tionghoa berbahasa Makassar dengan aksara Lontara dan Hanzi banyak diproduksi pada akhir masa 1800-an dan awal 1900-an.

Sebagian karya itu terekam dalam Katalog Induk Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Sebagian lainnya disimpan oleh Go Lan Ing atau biasa disapa Nona Lanny. Usai berziarah ke dua komplek pekuburan Cina, perempuan paro baya ini mempersilakan DREAMSEA untuk mengakses naskah karya Liem, yang pernah tinggal di Jalan Sulawesi Makassar. Karya-karya sastra Liem dianggap sebagai penanda memori yang mempertautkan kebudayaan Tionghoa dan Makassar sekaligus menunjukkan keakraban yang terjalin lama antara pendatang dan pribumi.

Trulli
Preservasi digital manuskrip Go Lan Ing.

Nama Liem lebih populer dibanding penulis lain di masa itu karena itu produktivitasnya memang sulit ditandingi. Manuskrip yang dikoleksi Nona Lanny saja berjumlah 2.000 bundel. Konon, satu bundel naskah digarap oleh Liem hanya dalam waktu tiga hari. Beberapa naskah bahkan ditulisnya dalam hitungan jam. Sayangnya, belum semua naskah Liem dapat dibaca secara sempurna karena kondisinya. Banyak lembaran naskah yang sudah usang dan rentan rusak.

Hingga kini, baru 500 bundel manuskrip tersebut yang berhasil dialihkan menjadi dokumen digital sebanyak 43.733 file gambar. Itu pun pengerjaannya selama tiga tahun, sejak 2019 hingga 2023. Pada tahun 1987, Claudine Salmon, penulis asal Prancis yang meneliti bahasa-bahasa Timur, mengidentifikasi 64 judul cerita dalam karya sastra Liem. Namun, kini tinggal 39 judul yang ditemukan. Dengan demikian, terdapat 25 judul naskah cerita yang hilang dalam kurun waktu 36 tahun.

Menurut Kepala Pusat Riset Manuskrip Literatur dan Tradisi Lisan pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sastri Sunarti, keberadaan sastra peranakan Tionghoa merupakan fenomena menarik dalam khazanah sastra Indonesia modern. Sebab, lebih dulu muncul ketimbang sastra Melayu yang dimulai dari masa Balai Pustaka pada 1920. "Sastra peranakan Tionghoa telah berkembang sejak akhir abad ke-10 hingga abad ke-20," kata Sastri dalam diskusi daring pada Kamis, 20 Juli 2023.

Naskah Liem menempati posisi tersendiri karena mendominasi karya tulis sastra peranakan Tionghoa di pasaran pada masanya. "Karya-karya pertamanya dimulai sejak tahun 1870 sebagai cerita bersambung dalam surat kabar dan mulai diterbitkan dalam bentuk buku kecil agar mudah disebarluaskan," ungkap Sastri mengutip tulisan Claudine Salmon.

Ketua Komunitas Perhimpunan Peranakan Tionghoa Makassar (KP2TM) Arwan Tjahjadi menjelaskan, Liem memiliki ratusan buku dan rajin menerjemahkan naskah cerita Tionghoa ke bahasa Melayu Makassar. "Dia bisa membaca dengan cermat tulisan kanji sehingga dapat menerjemahkan dari bahasa Mandarin ke bahasa Lontara Melayu Makassar," katanya. ***


Saksikan juga kisah ini di Youtube DREAMSEA Manuscripts:

Translate »