La Galigo diakui UNESCO sebagai warisan dokumenter amat penting dan sebagian masyarakat Bugis menganggapnya kitab suci. Tercatat sebagai naskah sastra terpanjang seantero dunia, perlu waktu sebulan bagi DREAMSEA untuk mendigitalkan sebagian salinan naskah ini di tempat asalnya.


Husnul Fahimah Ilyas
26 Juni 2024

Masyarakat Bugis akrab dengan istilah lontaraq atau sureq ketika bicara manuskrip. Lontaraq merujuk pada naskah kuno berisi silsilah keturunan, risalah keagamaan, kisah kepahlawanan, dan peristiwa sejarah. Ada juga yang berisi panduan teknis pembuatan kapal dan rumah. Sedangkan sureq dikhususkan pada manuskrip yang memuat puisi. Masing-masing istilah itu digunakan sesuai bentuk fisik manuskrip dan jenis isinya. Namun, ada pula naskah yang unik karena narasinya puitis namun isinya lebih kompleks dari sekadar karya sastra sehingga sulit dikategorisasi.

Naskah unik dari Bugis yang paling populer adalah La Galigo. Ini adalah sebuah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Bugis pada sekitar abad ke-14 hingga ke-15. Isinya sebuah epos atau cerita kepahlawanan dengan latar belakang peradaban Kerajaan Luwu yang dianggap sebagai tempat kelahiran masyarakat Bugis. Keunikan lain dari La Galigo adalah tata bahasanya. Aksara Lontara Bugis atau biasa disebut "huruf segi-empat" yang digunakan dalam naskah ini merupakan turunan dari aksara Pallawa. Disusun dengan metrum (pola bahasa dalam sebuah baris puisi) yang terdiri dari lima suku kata, deretan kalimat La Galigo mengandung mantra yang berdaya magis.

Penganut agama lokal Tolotang membaca naskah ini dengan ritual khusus sebagai doa untuk menyembuhkan sakit dan menolak bala. Fungsi lainnya, sebagai almanak atau perhitungan kalender. Tindakan komunitas terhadap naskah ini mirip dengan cara penganut agama-agama lain memperlakukan kitab suci mereka.

Memang, secara eksplisit La Galigo tidak dinyatakan sebagai kitab suci. Namun, antropolog seperti Christian Pelras mengungkapkan betapa pentingnya naskah ini dalam kehidupan sosial dan spiritualitas masyarakat Bugis karena berfungsi sebagai sumber utama pengetahuan dan kebudayaan mereka. Isi naskah dianggap memiliki nilai sakral bahkan berdaya magis.

Demikian menariknya, UNESCO memasukkan La Galigo dalam "Memory of the World", dokumen warisan peradaban dunia. Itu sebabnya, naskah La Galigo banyak dieksplorasi dari berbagai segi. Selain dikaji oleh peneliti dari berbagai penjuru negeri, ia dijadikan inspirasi dalam beragam pertunjukan seni, salah satunya teater I La Galigo besutan sutradara Robert Wilson dari Amerika Serikat, yang sejak 2004 dipentaskan di lebih dari 10 negara.

Dalam konteks akademik, naskah La Galigo mulai menjadi perhatian ketika B.F. Matthes, filolog asal Belanda melakukan studi pada pertengahan abad ke-19. Saat tiba di Makassar pada 1848 ia mempelajari bahasa dan sastra lokal secara mendalam sehingga dikenal sebagai pelopor pengumpulan dan dokumentasi naskah Bugis dan Makassar. Karyanya yang terkenal adalah "Boeginesche Chrestomathie" (1872) dan "Boegineesche Teksten" (1874-1888) yang mencakup transkripsi dan terjemahan teks-teks Bugis ke bahasa Belanda. Matthes membuka jalan bagi peneliti-peneliti lain seperti Cense dan Kern yang memperluas kajiannya dengan analisis filologis dan pemetaan struktur konten naskah La Galigo.

Tentu ada tantangan tersendiri dalam menelusuri naskah ini. Sulit diperkirakan seberapa panjang keseluruhan naskah aslinya. Dalam hitungan kasar, sebagian naskah terlengkap yang tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda, saja berjumlah ratusan bundel yang terdiri dari 12 fragmen kisah. Jika dituliskan ke dalam bentuk buku cetak, ceritanya dapat menghabiskan sekitar 6.000 halaman kertas berukuran folio. Ini membuatnya tercatat sebagai karya sastra terpanjang di dunia, jauh melebihi ketebalan epos terkenal India, Mahabharata dan Ramayana, maupun mitologi Yunani, Homerus dan Odissey—yang banyak diadaptasi film-film Hollywood. Dari koleksi sebanyak itu pun hanya satu naskah yang alurnya bersambung dan dapat dibaca sebagai satu kesatuan, yakni naskah berkode NBG 188, yang memuat fragmen awal puisi Bugis. Sisanya memerlukan penelitian lebih lanjut.

Upaya menemukan naskah ini di tempat asalnya, di wilayah peradaban Bugis, ternyata pula sama susahnya. DREAMSEA pun menemukan salinan naskah penting ini secara tak sengaja. Tepatnya ketika melakukan misi digitalisasi manuskrip-manuskrip di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Di daerah Pammana dan Sengkang, yang berjarak lebih dari 200 km dari kota Makassar, salinan naskah dimiliki oleh beberapa orang seperti Maddukelleng, Sudirman Sabang, dan Siti Aisyah. Mereka menganggap naskah ini sebagai benda pusaka yang keramat, sehingga berusaha menjaganya sebaik mungkin. Sayangnya, secara teknis naskah tersebut hanya disimpan seperti koleksi buku biasa. Mereka mengaku tak lagi membacanya secara khusus dengan ritual tertentu seperti tradisi pemilik naskah pada generasi sebelumnya puluhan tahun silam.

Naskah yang ditemukan di Wajo tidak selengkap koleksi Perpustakaan Leiden maupun Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Di dua perpustakaan besar itu naskah La Galigo terdiri dari 300.000 baris puisi yang cerita utamanya adalah asal-muasal manusia menurut tradisi Bugis dengan tokoh utama Sawerigading, seorang pahlawan pemberani. Epos ini menceritakan perjalanan hidup orang pertama yang mendiami bumi, La Togeq Langiq atau Batara Guru, putra penguasa langit.

Selain tidak lengkap, naskah di Wajo juga berbeda cerita dengan naskah di kedua perpustakaan tersebut. Secara umum intinya sama-sama mengandung ajaran moral dan nilai kehidupan yang kelak menjadi pegangan orang Bugis, namun pengaturan ceritanya berbeda. "Disebutkan dalam naskah La Galigo di Wajo bahwa episode-episode cerita menggunakan latar belakang Tanah Ugi atau Tanah Cina,” ujar Andi Maddukelleng, pemilik salinan naskah.

Informasi keberadaan naskah La Galigo versi Wajo awalnya diketahui dari laman facebook Andi Rahmat Munawar. Pada 29 Mei 2022, Andi mengunggah foto naskah La Galigo yang ia pinjam dari Andi Maddukelleng. Informasi ini kemudian berkembang ke komunitas naskah dan sampai ke DREAMSEA.

“Sungguh, saya sangat senang sekali setelah mengetahui bahwa naskah La Galigo yang diposting di Facebook oleh Bapak Andi Rahmat Munawar itu bisa diketahui orang lain dan sekarang bisa difoto oleh tim DREAMSEA,” kata Maddukelleng saat proses digitalisasi naskah.

Translate »